Prinsip Mu’adalah dan Pragmatisme dalam Pernikahan
(Sebuah Dialog dengan Sahabatku, Suhartono Muali)
Menteng, 3 Agustus 2006
Tq atas sharing pengalamannya, Ton! Diskusi ini menarik, jadi aku fwd ke teman-temanku boleh juga ‘kan 🙂 Maaf banget kalo tidak berkenan, ya.
Aku punya banyak perenungan soal pernikahan, dari mulai hakikat cinta ala Erich Fromm dan pengaruhnya terhadap model-model perkenalan, visi pernikahan dalam Al-Quran (yang kupahami), sampai pada hal-hal remeh soal model komunikasi yang harus dibangun antara dua sejoli. Salah satu hal yang menarik yang aku renungi…
Salah satu prinsip pernikahan adalah mu’adalah, atau berkeadilan. Jangan sampai ada satu pihak mendominasi pihak lainnya. Begitu juga dalam hal pacing (pendekatan untuk saling memahami), kalau hanya satu pihak saja searah yang memahami seh, siap-siap aja bercerai. Take and give (memberi dan menerima) mesti imbang. Two-ways communication (komunikasi dua arah) salah satu ciri khasnya. Ini konteks mu’adalah yang pertama.
Konteks mu’adalah yang kedua berhubungan dengan ruang-ruang di dalam pernikahan. Saya memandang dalam pernikahan itu ada tiga ruang yang bermain, yaitu ruang “keakuan” sang suami, ruang “ego” sang istri, dan “ruang komunal”. Ruang komunal merupakan sebuah ruang di mana semua “keakuan” yang bercirikan individualistik dari masing-masing pihak terserap dan luntur di dalamnya dalam sebuah wujud unitary communal identity (ketunggalan identitas kebersamaan). Kesadaran yang dibangun adalah sebuah hijrah dari kesadaran pro-eksistensi ke ko-eksistensi. Ada kesepakatan aturan-aturan main di dalamnya maupun kesepakatan-kesepakatan tak tertulis (kebiasaan) yang bermain di wilayah alam bawah sadar. Di sini merupakan –sebagaimana dalam penggalan lagu KLA Project berjudul “Cinta Putih”– tempat di mana “dua beda menyatu” 🙂 Akan tetapi ruang ini juga merupakan sebuah medan perang untuk saling pengaruh-mempengaruhi bagi masing-masing ruang “keakuan” atau “ego”. Di sinilah dinamika rumah tangga terjadi. Untuk itulah keadilan harus ditempatkan dalam konteks ini, yaitu keadilan dalam hal pengaruh-mempengaruhi.
Aku juga sepakat denganmu terhadap SALING MENSUKSESKAN, dalam pengertian heavenly (ukhrawi) dan worldly (profan/keduniawian). Hidup bersama berarti ada “prinsip utilitas” atau “pragmatis” juga. Teamworking gitulah dalam bahasa manajemennya. Atau “synergize: principles of creative co-operation” kata abang Stephen R. Covey 🙂 “Aku hidup bersamamu” berarti “aku akan membuatmu berkembang dan sebaliknya kamu pun demikian”. Jangan sampai satu pihak malah menghambat pihak lain untuk berkembang, apalagi sampai mematikan potensi. Potensi adalah gift (pemberian) dari Allah. Menghambat potensi berarti menyia-nyiakan pemberian dari Allah, dan bagiku itu dosa. Kalau aku “punya” seorang yayang seorang penulis novel misalnya, jangan sampai ketika dia menikah denganku maka dia tidak dapat menulis novel lagi. Justru seharusnya aku dapat menjadi inspirasi baginya untuk semakin gencar dan KREATIF dalam berkarya (makanya di buku suka ada halaman persembahan, misalnya…to my wife, Diana…:)). Begitu juga sebaliknya, man! Pernikahan adalah salah satu wadah manusia untuk melakukan “rekreasi” atau “re-creation”, alias “penciptaan ulang” seluruh potensi kediriannya secara utuh. Sip…sip!
Agaknya kita bisa belajar dari kedalaman surah Ar-Ruum ayat 21 berkenaan dengan kata-kata kunci “sakinah” (litaskunuu ilayhaa), “mawaddah” dan “rahmah”. Sakinah atau ketentraman berasal dari akar kata sakana-yaskunu artinya “tempat menetap”. Yusuf Ali menerjemahkannya dengan “tranquility” atau ketentraman, sedangkan Pickthal dan M.H. Shakir menerjemahkan dengan “rest” atau (tempat)peristirahatan/menetap (hati)–sesuai dengan akar katanya. Sakinah muncul dengan sendirinya (otomatis) saat dua hati menyatu dalam pernikahan, karena didahului kata “khalaqa” artinya “(Allah) telah menciptakan”. Sunatullah, gitulah. Sedangkan mawaddah dan rahmah mesti diupayakan melalui usaha kedua belah pihak untuk mewujudkannya, karena didahului kata “ja’ala” atau “telah menjadikan”. Tanpa adanya prinsip mu’adalah dan utilitas (di samping prinsip lain tentunya, seperti sevisi atau seiman), mawaddah dan rahmah takkan terwujud. Walhasil, saat kita pulang ke rumah, bukannya merasa ada kasih sayang dan ampunan, malah panas-panasan akibat berantem terus. Piring gelas pun melayang, sampai kata-kata dalam kamus kebun binatang juga keluar ahahahaha.
OK, gitu dulu aja. Ditunggu reply diskusinya, Bro!
Salaam.
Dwi
cool! lagi cari2 tentang konsep pernikahan, nyampe ke postingan ini. Makasi bgt, exactly as what i need.
The pleasure is mine, my friend 🙂