Semoga tulisan di bawah ini dapat membuka hati kita soal Tragedi Karbala. Saya ambil dari tulisan Mas Quito di http://qitori.wordpress.com
Selamat membaca!
Mungkin selama ini kita sering dicekoki dengan kemanisan dan keindahan masa-masa Islam di masa para salaf (sahabat maupun tabi’in) yang tidak tercemar setitik noda pun. Betapa banyak hadis-hadis palsu yang bertebaran di kalangan kaum Muslim yang memuja kebaikan maupun keshalihan mereka. Padahal tidak bisa dipungkiri bahwa banyak juga tersimpan catatan hitam di dalam sejarah para salaf yang dipenuhi darah, kebengisan dan kekejian yang bahkan lebih mengerikan ketimbang apa yang pernah dilakukan orang-orang Barbar maupun Tartar.
Ada 3 catatan hitam yang sangat mengerikan yang tersimpan di dalam Sejarah Islam, dan tentunya ke-3 catatan tersebut tak boleh dilupakan oleh seorang muslim pun. Itu pun jika mereka masih memiliki rasa kemanusiaan dan akal yang sehat.
Sebelum Muawiyah mati meninggalkan kekuasaannya, dia masih sempat memaksa kaum Muslim dengan politik tangan besinya untuk menjadikan putranya — yang terkenal zalim, suka mabuk-mabukan, meniduri ibu kandung dan adik kandungnya sendiri — sebagai khalifah (lebih tepatnya raja) penggantinya.
Dengan mencampakkan hukum-hukum agama demi tujuan-tujuan politis*] — Muawiyyah telah menghasilkan buah-buah yang amat busuk di masa penggantinya, Yazid. Begitu ungkap Abul A’la al-Maududi di dalam bukunya Khilafah dan Kerajaan.
Pada masa Yazid inilah terjadi 3 (tiga) peristiwa besar dan menjijikkan yang mengguncangkan dunia Islam ke seluruh pelosok negeri. Mari kita simak lebih jauh apa yang telah diungkapkan oleh Abul A’la Al-Maududi:
Pertama, pembantaian atas diri Husain bin Ali bin Abi Thalib r.a. Yang tidak diragukan sedikit pun ialah bahwa tindakan Husain itu adalah upaya untuk menggulingkan pemerintahan Yazid, disebabkan adanya undangan dari penduduk Irak. Karena itu pemerintahan Yazid telah menganggapnya sebagai pemimpin pemberontakan terhadapnya.
Marilah kita tinggalkan sejenak persoalan tindakan Husain ini, apakah hal itu sah ditinjau dari segi pandangan Islam atau tidak, 1] meskipun kami tidak pemah mengetahui seseorang pun dari para sahabat Nabi atau, tabi’in, baik di masa hidup Husain ataupun setelah ia wafat, yang berkata bahwa tindakan Husain adalah tindakan yang tidak sah menurut syari’at, dan bahwa dengan itu ia telah melakukan perbuatan yang diharamkan oleh Allah.
Adapun yang diucapkan oleh beberapa orang sahabat Nabi Saw. yang mencoba mencegah Husain meneruskan tindakannya itu, maka sesungguhnya mereka tidak melakukannya melainkan atas dasar bahwa tindakannya itu bukan merupakan langkah yang tepat dari segi taktik semata-mata.
Bahkan jika kita “mengandaikan” dapat menerima anggapan pemerintahan Yazid, namun apa yang tejadi di dalam kenyataannya, sama sekali tidak dapat dikatakan bahwa Husain telah bergerak dengan pasukan tentara, tapi ia hanya berangkat dari kota Madinah bersama keluarganya dan 32 orang penunggang kuda serta 40 orang pejalan kaki, tidak lebih dari itu.
Hal tersebut tidak mungkin kita namakan sebagai serbuan perang dari seseorang pun.
Di sisi lainnya, jumlah tentara yang dikirimkan dari kota Kufah di bawah pimpinan Umar bin Sa’d bin Abi Waqqash berjumlah 4.000 orang, dan tanpa adanya alasan yang mendesak pasukan tentara yang besar ini memerangi kelompok kecil tersebut dan membantainya.
Tapi sebenarnya mereka cukup mengepungnya dan menangkap orang-orangnya satu per satu dengan cara yang paling mudah. Sedangkan Husain sendiri, sampai detik-detik terakhirya, selalu berkata kepada mereka: “Biarkan aku pulang atau pergi ke perbatasan negeri untuk berjihad atau bawalah aku ke hadapan Yazid.”
Namun mereka tidak mau menerima sesuatu dari ucapannya ini, bahkan mereka bersikeras untuk membawanya ke hadapan Abdullah bin Ziyad, Gubemur Kufah. Dan Husain menolak menyerahkan dirinya kepada Ibnu Ziyad, sebab ia tahu benar apa yang telah dilakukan oleh Ibnu Ziyad atas diri Muslim bin Aqil, saudara sepupunya.
Lalu mereka memeranginya, sehingga ketika semua kawannya telah gugur sebagai syuhada dan dia berdiri di tengah-tengah medan peperangan sendirian, mereka pun menyerbu dan mengeroyoknya bersama-sama.
Dan ketika ia terluka dan kemudian jatuh, mereka menggorok lehernya dan merampok apa saja yang ada di atas jasadnya, mengoyak-ngoyak baju yang menutup tubuhnya, kemudian menggilasnya dengan kuda-kuda dan menginjak-injaknya dengan kaki-kaki mereka.
Setelah itu mereka beralih ke kemahnya, merampok isinya, mencabik-cabik pakaian para wanita, memenggal kepala setiap orang yang telah gugur di Karbala dan membawa semuanya itu ke Kufah.
Ibnu Ziyad tidak hanya cukup menjadiukan itu semua sebagai barang tontonan di hadapan orang banyak, tapi bahkan ia naik ke atas mimbar Masjid Jami’ dan berkata: “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menampakkan kebenaran dan ahlinya, memenangkan Amirul Mukminin Yazid dan kelompoknya serta membunuh si pendusta putera si pendusta, Husain bin Ali dan pengikut-pengikutnya!”
Kemudian penggalan-penggalan kepala itu dikirimkan kepada Yazid di Damsyik (Damaskus), yang pada gilirannya menggantungkannya di balairung istananya dan di berbagai ruang duduknya. 2]
Marilah kita menganggap saja, sebagaimana arah pandangan Yazid, bahwa Husain benar-benar telah memimpin suatu pemberontakan dan pembangkangan. Adakah Islam kosong dari suatu hukum atau undang-undang yang menghukumi orang-orang yang memberontak terhadap pemerintahan?
Undang-undang ini tercantum di semua kitab fiqih secara terperinci dan lengkap. Dan andaikata Anda ingin membacanya, maka silakan membacanya di satu kitab saja, seperti Kitab al-Hidayah 3] dan syarahnya, Fathul Qadir, bab tentang “Kaum Pemberontak”.
Dan sekiranya kita melihat dengan mata undang-undang ini ke arah peristiwa-peristiwa yang terjadi di Karbala dan di istana-istana Kufah dan Damsyik, niscaya kita akan mendapati bahwa setiap bagian yang terkecil pun dari peristiwa-peristiwa itu pasti haram hukumnya dan merupakan perbuatan kezaliman yang tidak ada kezaliman lain dapat menyamainya.
Memang ada beberapa perbedaan di dalam riwayat-riwayat yang menyebutkan tentang tindakan Yazid dan ucapan-ucapannya di Istana Damsyik, namun sekiranya kita meninggalkan semua riwayat ini dan mempercayai satu riwayat saja yang menyatakan bahwa Yazid telah menangis ketika menyaksikan penggalan kepala Husain dan kawan-kawannya, lalu ia berkata: “Sesungguhnya aku sudah puas dengan ketaatan kalian tanpa membunuh Husain. Terkutuklah cucu Sumayyah. Demi Allah, sekiranya aku yang berhadapan dengannya, niscaya aku akan mengampuninya.” Dan bahwasanya ia berkata, “Demi Allah, wahai Husain, sekiranya aku yang berada di hadapanmu, niscaya aku tidak akan membunuhmu.” 4]
Sekiranya riwayat (yang paling meringankan) itu saja yang kita percayai, maka masih ada pertanyaan yang ingin kita tanyakan, hukuman apakah yang telah dilakukan oleh Yazid atas diri gubernurnya (Ibn Ziyad) yang durjana itu atas perbuatannya melakukan kezaliman yang besar ini?
Berkata Ibnu Katsir bahwa Yazid tidak pemah menghukum Ibnu Ziyad, tidak memecatnya, bahkan tidak pemah mengiriminya sepucuk surat kecaman pun kepadanya. 5]
Dan meskipun nilai-nilai Islam adalah sesuatu yang amat agung, namun sekiranya dalam diri Yazid masih ada sedikit saja perasaan kemanusiaan dan keksatriaan (tanpa didampingi nilai-nilai luhur Islam), niscaya itu sudah cukup membuatnya berpikir dan membandingkan betapa besarnya kebajikan Rasulullah saw. yang telah dilakukan, setelah penaklukan kota Makkah, terhadap keluarga Yazid (Bani Umayyah), dan bagaimana kini pemerintahannya sendiri memperlakukan keluarga Rasulullah saw. sebagai balasannya.
Perbuatan keji yang kedua, setelah ini, ialah pertempuran Harrah yang terjadi di akhir tahun 73H, yaitu di akhir masa pemerintahan Yazid. Secara singkat, kejadian itu adalah bahwa penduduk kota Madinah telah menyaksikan dan menetapkan bahwa Yazid adalah seorang fasik, durjana dan zalim, karena itu mereka memberontak terhadapnya, mengusir gubemur kota Madinah dan mengangkat Abdullah bin Handhalah sebagai pemimpin mereka.
Ketika hal itu sampai ke pendengaran Yazid, ia menunjuk Muslim bin Uqbah (beberapa orang salaf yang baik-baik menamakannya Musrif “si durjana” bin Uqbah) sebagai komandan atas 12. 000 pasukan dan memerintahkannya untuk menyerbu kota Madinah dan menyeru penduduknya selama 3 hari agar kembali taat kepada Yazid.
Bila mereka menolak hendaknya ia memerangi mereka, dan setelah memperoleh kemenangan, bolehlah ia menjarah kota Madinah dan membebaskan tentaranya selama tiga hari berturut-turut, melakukan apa saja yang mereka kehendaki. Berdasarkan rencana ini, pasukan tersebut menuju kota Madinah dan terjadilah bencana itu.
Kota Madinah ditaklukkan, kemudian anggota tentara, sesuai dengan perintah perintah Yazid, dibiarkan melakukan apa saja di dalamnya.
Selama tiga hari berturut-turut, setiap sudut kota Madinah dirampok habis-habisan. Anggota pasukan penyerbu menggunakan pedang-pedang mereka untuk menebas leher-leher penduduknya dan memusnahkan mereka, sehingga, berdasarkan riwayat Imam Zuhri, telah terbunuh di tangan mereka sebanyak 7.000 kaum asyraf dan kurang lebih 10.000 rakyat lainnya.
Yang amat menimbulkan rasa sedih dan geram ialah tentara biadab ini telah menghalalkan kehormatan rumah-rumah di Madinah dan melanggar kesucian kaum wanitanya tanpa sedikit pun rasa malu atau bimbang. Ibnu Katsir berkata: “Diriwayatkan bahwa ada 1.000 wanita yang telah menjadi hamil tanpa perkawinan — di hari-hari itu…” 6]
Dan seandainya kita menganggap bahwa pemberontakan penduduk Madinah itu merupakan pemberontakan yang tidak sah menurut syari’at, adakah yang diperbuat oleh Yazid dan tentaranya atas diri penduduk Muslim yang senegeri, bahkan atas kaum pembangkang yang bukan Muslim pun atau orang-orang kafir yang memerangi itu merupakan tindakan sah menurut hukum Islam?
Dan hal yang lebih keji lagi ialah bahwa mereka melakukan segala perbuatan kotor dan kejam tersebut bukan di suatu kota biasa, tapi di kota suci Madinah, kota Rasulullah Saw yang banyak sekali hadis-hadis yang meriwayatkan tentang keutamaan dan kesuciannya, seperti tersebut dalam kitab Bukhari dan Muslim, Musnad Ahmad dan Nasai, yaitu ucapan Nabi saw: “Tidak seorang pun -memperlakukan kota Madinah dengan kejahatan melainkan Allah pasti akan melumerkannya dalam api neraka sebagaimana lumernya timah hitam.”
Dan hadis lainnya:
“Barangsiapa membuat takut penduduk Madinah secara zalim, niscaya Allah akan membuatnya takut, dan akan ditimpakan kepadanya laknat Allah, malaikat dan manusia semuanya, dan Allah tidak akan menerima suatu amal atau ganti daripadanya kelak di Hari Kiamat.”
Ibnu Katsir berkata lagi bahwa sekelompok ulama telah membolehkan mengucapkan ucapan laknat atas Yazid berdasarkan hadis-hadis ini. Dan Imam Ahmad bin Hanbal juga telah menguatkan pendapat ini. 7]
(Bersambung)
Catatan Kaki:
[*] Bukankah siasat ini juga dilakukan oleh para politisi kita di DPR, bahkan ada yang menggunakan atribut-atribut agama demi menipu banyak orang? Meniru sunnah Muawiyah?
[1] Telah kujelaskan pendirianku (Abul A’la al-Maududi) dalam persoalan ini dalam risalah yang telah kususun berjudul “Gugurnya al-Husain sebagai Syahid”. Dan akan Anda jumpai pula penjelasan mengenai hal ini dalam bab ke 8 buku ini.
[2] Bacalah perincian peristiwa ini seluruhnya di dalam :
– Thabari, jilid 4, halaman 309 sampai 356;
– Ibnu Atsir, jilid 3, halaman 282 sampai 299;
– Al-Bidayah, jilid 8, halahian 170 sampai 204.
[3] Al-Hidayah adalah salah satu buku yang lengkap di dalam Fiqih Hanafi. Pengarangnya ialah al-Imam Burhanuddin al-Marghinani al-Hanafi; meninggal dunia pada tahun 593 H. Syarah (komentar) kitab ini berjudul Fathul Qadir oleh al-Allamah Ibnu Humam yang meninggal dunia tahun 681 H. (Ahmad Idris, penerjemah ke bahasa Arab).
[4] – Thabari, jilid 4, halaman 352;
– Ibnu Atsir, jilid 3, halaman 298-299.
[5] Lihat al-Bidayah wan-Nihayah, jilid 8, halaman 203.
(Sumber : Khilafah Dan Kerajaan, karya Abul A’la Al-Maududi, hlm. 231-234, Penerbit Mizan, Cet. VII)
[6] Tentu saja karena diperkosa oleh tentara Yazid. Lihat perincian peristiwa ini dalam :
– Thabari, jilid 4, halaman 372 sampai 379;
– Ibnu Atsir, jilid 3, halaman 310 sampai 313;
– al-Bidayah wan-Nihayah, jilid 8, halaman 372, halaman 219 sampai 221.
[7] Al-Bidayah, jilid 8, halaman 223. Mengenai perincian ucapan Imam Ahmad bin Hanbal yamg disebutkan olch Ibnu Katsir ialah bahwasanya Abdullah, putera Imam Ahmad, pada suatu hari pernah bertanya kepada ayahnya, “Bagaimana hukum melaknat Yazid?” lmam Ahmad bin Hanbal menjawab, “Bagaimana aku tidak melaknat orang yang dilaknat oleh Allah?” Kemudian ia membaca ayat Surat Muhammad [47] : 22-23 : “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.”
Kemudian Imam Ahmad bin Hanbal berkata : “Kerusakan dan pemutusan hubungan kekeluargaan yang bagaimana lagi yang lebih besar dari yang telah dilakukan oleh Yazid?”
(Sumber : Khilafah dan Kerajaan, karya Abul A’la al-Maududi, Penerbit Mizan)
Yang menarik, para penganut Wahabi-Salafy justru membela mati2an manusia laknat seperti Yazid ini.